MEMUPUK TRADISI, MERAWAT YANG TUMBUH
Raboo Raboo, Ritual Jalan, Roda, dan Rasa
Keringat di Aspal, Kisah di hari Rabu.Tradisi tidak selalu lahir dari buku tua atau pengingat suatu masa. Kadang ia tumbuh dari sela-sela kecil ibukota seperti pedal yang berputar, jalan kota, dan sek...
Devyn Yudistira

Keringat di Aspal, Kisah di hari Rabu.
Tradisi tidak selalu lahir dari buku tua atau pengingat suatu masa. Kadang ia tumbuh dari sela-sela kecil ibukota seperti pedal yang berputar, jalan kota, dan sekelompok orang yang sepakat bahwa Rabu tidak seharusnya berbisik sunyi.
Mereka menyebutnya Raboo Raboo. Sebuah ritual mingguan para penggiat sepeda dari harap yang percaya bahwa tradisi bisa tumbuh dari roda yang tak pernah berhenti berputar. Tidak ada pengakuan, tidak ada yang mengikat, tidak ada pendiri tunggal. Raboo Raboo lahir dari kebiasaan. Pertemuan yang awalnya hanya “sok asik gowes buat ngumpul” perlahan berubah jadi ruang sosial, tempat pulang yang tidak selalu berbentuk rumah, dan tradisi yang hidup karena dirawat bersama.
Setiap Rabu, mereka berkumpul. Bukan untuk kompetisi. Tapi untuk bersilaturahmi. Raboo Raboo bukan hanya tentang balap atau kecepatan, melainkan tentang mereka yang merasa hadir.
“Karena sebenar-benarnya gowes, adalah gowes yang terasa. Bukan hanya bergerak, tapi menghidupi gerak.”
Tradisi tidak selalu soal menyinggung masa lalu. Kadang ia justru tumbuh dari masa kini dari kebiasaan yang diulang, dari jumpa yang dijaga, dari rasa yang gencar tapi tulus. Raboo Raboo adalah bukti bahwa tradisi bisa lahir dari jalan, dari roda, dari ragam rupa yang bersepakat untuk tetap bertemu.
Ricis, Tikum jam 18.00 (Nek raudan)